Sadar Lingkungan


Pengelolaan Sampah Untuk Kehidupan!!!

Wacana pemanasan global (global warming) adalah tema yang selalu saja hangat diperbincangkan, baik oleh pemerintah, peneliti maupun badan organisasi di tingkat internasional maupun nasional/lokal. Betapa tidak, terjadinya pemanasan global dapat berakibat negatif bagi keberlangsungan makhluk hidup secara umum di permukaan bumi.  Dampak negatif tersebut di antaranya berupa terjadinya perubahan iklim yang tidak stabil, suhu yang meningkat, kenaikan permukaan air laut, dan mencairnya es di kutub. Oleh sebab itu, berbagai upaya terus dilakukan guna mencegah terjadinya pemanasan global yang berkelanjutan.

Terjadinya pemanasan global itu sendiri disebabkan oleh semakin meningkatnya jumlah gas rumah kaca pada atmosfer bumi. Ironisnya, manusia sendirilah yang menjadi aktor utama penyebab meningkatnya emisi gas rumah kaca. Gas rumah kaca tersebut, semisal CH4 (gas metan) dan CO2  (karbondioksida), terutama dihasilkan dari berbagai kegiatan manusia, utamanya kegiatan yang menggunakan pembakaran bahan bakar fosil, seperti penggunaan kendaraan bermotor, pembakaran bahan bakar minyak dan batubara di industri.

Tidak hanya itu, produksi gas rumah kaca yang semakin meningkat tersebut juga disebabkan oleh tidak tertanganinya pengelolaan sampah dengan baik. Masih banyak negara-negara, khususnya negara tertinggal maupun berkembang, yang menggunakan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dengan sistem pembuangan terbuka (open dumping) atau sekedar menimbun sampah di daerah terbuka tanpa proses apapun. Tumpukan sampah pada ruang terbuka tersebut kemudian menyebabkan sampah-sampah organik yang tertimbun mengalami dekomposisi secara anaerobik  dan menghasilkan gas CH4 atau gas metan.

Keberadaan lapisan gas rumah kaca pada atmosfer menyebabkan terperangkapnya panas matahari.  Secara alamiah panas sinar matahari yang masuk ke bumi, sebagian diserap oleh permukaan bumi dan sebagian lagi akan dipantulkan kembali keluar angkasa melalui atmosfer. Dengan terperangkapnya sebagian panas matahari oleh gas rumah kaca tersebut kemudian menyebabkan suhu di permukaan bumi menjadi hangat. Dan meningkatnya emisi gas rumah kaca pada atmosfer pada akhirnya juga meningkatkan pemanasan suhu di bumi.  Peristiwa terperangkapnya panas matahari di permukaan bumi inilah yang dikenal dengan istilah efek rumah kaca (ERK).

Hal ini justru semakin diperparah oleh kesadaran akan pelestarian lingkungan yang tidak dimiliki oleh setiap personal. Salah satu contoh, dalam kasus di Indonesia sendiri, tidaklah sulit untuk menemukan tumpukan sampah (organik dan non organik) yang dibuang secara sembarangan, baik di jalanan maupun di selokan. Prilaku yang demikian ini bisa jadi disebabkan oleh dua hal, yaitu pertama,  masyarakat kurang begitu memahami dampak negatif dari prilaku tidak mengelola pembuangan sampah dengan baik (membuang sampah sembarangan), kedua, memang karena tidak adanya kesadaran pada sebagian besar masyarakat untuk menjaga kelestarian lingkungannya.

Membangun Masyarakat Sadar Lingkungan

Berangkat dari kenyataan di atas, rasanya diperlukan adanya suatu “terapi” yang berkesinambungan sebagai upaya penyadaran terhadap masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Terapi berkesinambungan tersebut dimaksudkan sebagai proses penyadaran bertahap dan berkelanjutan sebab untuk membangun suatu pola kebiasaan tidak dapat tercipta begitu saja dalam waktu singkat. Dalam hal ini, peranan media dalam menyuarakan gerakan peduli lingkungan haruslah difungsikan secara maksimal karena lebih mudah diakses oleh masyarakat luas daripada bentuk sosialisai yang dilakukan oleh lembaga atau organisasi tertentu.

Tidak hanya itu, “terapi” tersebut kemudian haruslah dilanjutkan dengan aksi nyata dalam menjaga kelestarian sumber daya lingkungan. Sebab, kesadaran tanpa adanya aksi nyata sama saja omong kosong. Suatu aksi nyata yang didukung peran aktif masyarakat dengan sendirinya akan membangun mental masyarakat yang sadar lingkungan. Dan salah satu bentuk aksi nyata tersebut dapat berupa pengelolaan terhadap sampah.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan konsep 3 R (Reduse, Reuse dan Recycle). Karena dengan menerapkan konsep 3R tersebut setidaknya dapat mengontrol produksi sampah. Reduce yaitu mengurangi segala sesuatu yang menyebabkan timbulnya sampah, misalnya pada saat berbelanja kita membawa kantong atau keranjang dari rumah, mengurangi kemasan yang tidak perlu, atau menggunakan kemasan yang dapat di daur ulang. Reuse (guna ulang) yaitu kegiatan penggunaan kembali sampah yang masih dapat digunakan baik untuk fungsi yang sama ataupun fungsi yang lain, misalnya botol bekas minuman dirubah fungsi menjadi tempat minyak goreng, ban bekas dimodifikasi menjadi kursi, dan pot bunga. Recycle (mendaur ulang), yaitu mengolah sampah menjadi produk baru, misalnya sampah kertas diolag menjadi kertas daur ulang/kertas seni/campuran pabrik kertas, sampah plastik di daur ulang menjadi biji plastik untuk bahan timba dan lainnya, sampah organik diolah menjadi pupuk kompos.

Dengan adanya kontrol dan pengelolaan sampah secara benar –juga bentuk cita-cita pelestarian lingkungan lainnya, maka masyarakat telah berperan serta dalam mengontrol emisi gas rumah kaca yang menjadi penyebab terjadinya pemanasan global. Perduli terhadap pemanasan global berarti perduli terhadap lingkungan, perduli terhadap lingkungan berarti perduli terhadap kemanusiaan, dan perduli terhadap kemanusiaan berarti perduli terhadap keberlangsungan hidup seluruh makhluk di permukaan bumi.

Good Governance...


Masyarakat Madani
Dalam Pandangan Umat Muslim Indonesia

Konsep civil society (masyarakat madani) belakangan ini menarik minat banyak kalangan. Berbagai diskusi, seminar, dan talk show diselenggarakan untuk mengupas konsep tersebut. Gejala tersebut menandai bahwa masyarakat kita sedang mencari konsep alternatif untuk mewujudkan good governance, menggantikan bangunan Orde Baru yang telah melahirkan bad governance.

Menjadikan civil society sebagai konsep alternatif tampak pula dari gerakan oposisi kaum reformis terhadap rezim Orde Baru, yang diberi nama gerakan masyarakat madani (padanan Indaonesia untuk kata civil). Nama tersebut merupakan terjemahan populer dari istilah civil society, berbeda dengan makna civil society dalam diskursus ilmu sosial. Konsep civil society kadang juga diartikan sebagai masyarakat sipil. Pengartian tersebut didorong oleh keinginan untuk memberikan hak kepada kalangan sipil (nonmiliter) yang selama ini dikebiri hak-hak politik, sosial, dan ekonomi mereka akibat dari dominasi ABRI melalui penerapan dwifungsinya. Dengan begitu, civil society diartikan sebagai masyarakat dengan otoritas penuh untuk menyelenggarakan tugas eksekutif, legislatif, dan yudikatif tanpa pengaruh dan dominasi militer.

Mengartikan civil society dengan konotasi makna seperti dalam dua contoh tersebut bukan disebabkan kesulitan mengartikan konsep civil society, melainkan karena adanya kepentingan tertentu yang melatarbelakangai mereka yang sedang membahas konsep dimaksud. Kalangan pemikir muslim mengartikan civil society dengan cara memberi atribusi keislaman madani (attributive dari kata al-Madinah). Karena itu, istilah civil society dipadankan dengan masyarakat madani yang pada masyarakat ideal di (kota) Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam masyarakat tersebut, Nabi berhasil memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan, penegakan hukum, jaminan kesejahteraan bagi semua warga serta perlindungan terhadap kelompok minoritas. Dengan begitu, kalangan pemikir muslim menganggap masyarakat (kota) Madinah sebagai prototype masyarakat ideal produk Islam yang bisa dipersandingkan dengan masyarakat ideal dalam konsep civil society. Mereka melakukan ’’pengislaman’’ konsep civil society untuk menunjukkan bahwa ajaran Islam sangat kaya dengan nilai dan etika, yang bila diimplementasikan akan terbentuk tatanan kehidupan yang ideal.

Anwar Ibrahim adalah intelektual muslim pertama yang mengintroduksi istilah masyarakat madani sebagai padanan civil society. Nurcholish Majid kemudian menggunakan istilah serupa. Dan, istilah tersebut sekarang sudah baku berkat tingginya sirkulasi penggunaan istilah tersebut. Seperti halnya pemikir muslim lain, kedua pemikir itu menggunaan projecting back theory dalam ’’mengislamkan’’ konsep civil society. Dalam menerapkan teori tersebut, mereka mengambil contoh dari data historis masa lalu Islam (masyarakat kota Madinah bentukan Nabi) yang secara kualitatif mereka anggap sejajar dengan masyarakat ideal hasil tuangan konsep civil society. Mereka melakukan penyetaraan untuk menunjukan bahwa dalam ajaran Islam terdapat potensi yang bisa dipakai untuk menciptakan sebuah pranata kehidupan sosial, politik, dan ekonomi sejalan dengan visi masyarakat modern.

Ada baiknya dibahas secara ringkas alasan yang mendorong kalangan intelektual muslim menggunakan projecting back theory itu. Dalam menerima paham-paham baru (neologism) yang muncul di era modern ini, intelektual muslim umumnya memiliki reservasi. Reservasi tersebut dilakukan karena mereka berada dalam situasi dilematis. Di satu sisi, konsep seperti civil society dibentuk berdasarkan prinsip moral dan tata nilai dari tradisi Eropa non-Islam.

Di sisi lain, mereka tidak mempunyai kemampuan untuk menolaknya. Sebab, prinsip-prinsip dalam konsep tersebut telah menyatu secara organik dengan pranata kehidupan modern dan menjadi etika hidup masyarakatnya. Sebagai bagian dari masyarakat ekumenikal, intelektual muslim akan selalu memiliki reservasi terhadap paham-paham baru yang datang dari luar. Dalam sistem ekumenikal, masyarakat akan mencari jastifikasi agama sebelum menerima segala produk pemikiran manusia. Karena itu, reservasi tersebut baru bisa cair setelah konsep dimaksud dinyatakan valid karena, dalam proses pengujiannya, tidak bertentangan dengan landasan normatif (nass) dari sumber primer Islam (Alquran dan Hadis) atau dengan praktik generasi awal Islam.

Proses pengujian terhadap konsep baru umumnya dalam bentuk pencarian data sejarah masa lalu Islam, yang analog watak kualitatifnya dengan materi dalam konsep baru tersebut, seperti penganalogan masyarakat Madinah dengan civil society. Bila referensi pada data historis tidak ditemukan, maka dicari landasan tekstual (nass) sebagai alat jastifikasi pengganti. Paham nasionalisme yang sekarang sudah diterima sebagai paradigma politik oleh semua bangsa muslim semula juga mengalami proses pengujian melalui landasan tekstual. Muhammad ’Abduh, Hasan al-Banna’, dan Muhammad Rashid Rida, misalnya, menolak paham nasionalisme. Menurut mereka, Islam hanya mengakui kelompok sosial yang dibangun di atas dasar persamaan agama (Islam) saja sesuai dengan ketentuan normatif dalam prinsip al-ummah al-Islamiyah. Sedangkan paham nasionalisme, dalam pandangan mereka, menekankan prinsip kebersamaan plural, mulai etnis, linguistik, tradisi, cita-cita, hingga nilai-nilai kultural. Sedangkan Mustafa Kamil, Muhammad Iqbal, dan Muhammad Ali Jinnah menganggap bahwa nasionalisme tidak bertentangan dengan doktrin politik Islam. Sebab, di antara keduanya terdapat hubungan signifikan melalui prinsip normatif al-ukhuwwah al-Islamiyah. Nasionalisme, menurut mereka, merupakan instrumen bagi masyarakat muslim untuk mengaktualisasi cita-cita politik mereka sebagai komunitas beragama yang memerlukan negara (state) dan yang kedaulatannya dirampas oleh kekuatan kolonial.

Pada prinsipnya, kalangan muslim sangat reseptif terhadap produk pemikiran baru. Hal ini seperti tampak dari sikap Anwar Ibrahim dalam ’’mengislamkan’’ civil society serta penerima tiga pemikir tersebut pada konsep nasionalisme. Reseptivitas seperti itu disebabkan agama mereka (Islam) memiliki konsep moral universal sehingga proses akulturasi dengan paham-paham lain selalu mudah dilakukan. Untuk mengevaluasi reseptivitas Islam terhadap konsep civil society, perlu dibahas etika dalam ajaran Islam yang paralel dengan norma yang kemudian melandasi diskursus dalam penyelenggaraan konsep civil society. Pembahasan hanya akan menyayikan tema-tema pokok, seperti human rights, pluralism, dan religious tolerance. Tema seperti itu dipilih, mengingat pelanggaran terhadap human rights merupakan kasus laten yang terjadi di banyak negara muslim. Sedangkan pluralism dan religious tolerence merupakan tema aktual yang perlu disimak dalam konteks teoretisnya menurut Islam.

Tegakkan Hukum!!!

Ketegasan Hukum Bagi Koruptor


Negara Republik Indonesia merupakan negara yang memiliki anugrah yang sangat besar dari Tuhan Yang Maha Esa. Indonesia yang juga disebut dengan nama Nusantara memiliki sangat banyak kekayaan alam, mulai dari tambang emas, minyak, batubara, dan lain sebagainya . Negara ini juga memiliki tanah yang relatif subur sehingga ada juga yang menyebut tanah Indonesia sebagai “tanah surga”. Selain itu, bumi nusantara ini juga memiliki kekayaan budaya yang amat. Dari sabang sampai merauke di dalamnya terdapat bermacam-macam suku dan budaya.

Akan tetapi, sungguh sangat ironis ketika kita melihat kenyataan bahwa negara Indonesia saat ini sedang berada dalam keterpurukan. Bangsa ini terlalu membangga-banggakan terhadap kekayaan alam yang dimilikinya. Dengan enaknya pemerintah mengeruk habis-habisan sumberdaya alam yang ada tanpa berfikir panjang ke belakang. Selain tiu anugerah yang dilimpahkan oleh tuhan tersebut tidak digunakan secara efisien untuk menuntaskan problem-problem yang ada di masyarakat. Akibatnya, angka kemiskinan pun terus bertambah, pengangguran-pengangguran bertebaran di mana-mana, anak-anak yang seharusnya bersekolah malah berkeliaran di jalanan menjadi pengamen dan sebagainya. 

Hal itu tentunya sudah cukup membuat masyarakat merasa “sesak nafas” dan prihatin melihat kondisi yang sedemikian ini. Namun, kekecewaan yang dirasakan masyarakat justru bertambah akibat tingginya angka korupsi dari kalangan pejabat negara yang sekarang sedang marak-maraknya. Mereka yang seharusnya menjalankan amanah yang diberikan oleh masyarakat malah justru menjadi benalu bagi pemerintahan dan masyarakat pada umumnya. 

Korupsi dalam bahasa latin adalah corruptio yang memiliki makna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, dan menyogok. Menurut Transparency International korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

Banyak sekali dampak negatif yang diakibatkan oleh korupsi indonesia khusunya. Di antaranya adalah mempersulit terbentuknya tata pemerintahan yang baik (good governance). Korupsi pada saat pemilihan umum serta pada badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan dalam pembentukan kebijaksanaan, korupsi pada sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum, dan korupsi pada pemerintahan publik menghasilkan ketidak seimbangan dalam pelayanan masyarakat.

Selain itu, korupsi juga menimbulkan distorsi (kekacauan) dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infra struktur serta menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran yang dikucurkan pemerintah.

Butuh Ketegasan Hukum
Berangkat dari realita yang demikian, bangsa Indonesia tampaknya harus menrekonstruksi hukum yang cenderung tidak tegas. Indonesia saat ini sangatlah butuh terhadap hukum yang lebih tegas. Kurangnya ketegasan terhadap pelaku korupsi tentunya akan membentuk tabiatnya untuk terus melakukan korupsi. Dengan adanya hukum yang lebih tegas itu diharapkan mampu mengangkat moral bangsa dan masyarat Indonesia. 

Gus Dur, mantan presiden Indonesia, dalam sebuah acara talk show di salah satu acara televisi pernah berucap “Bangsa ini penakut karena tidak mau bertindak kepada yang salah”. Terlepas dari konteks permasalahannya, ucapan Gus Dur tersebut rasanya sangatlah tepat untuk dijadikan sebuah pegangan kedepan. Pada kenyataannya hukum di Indoneisa itu boleh dikatakan “plin-plan”. Hukum yang seharusnya memberikan suatu keadilan kini perlu untuk dipertanyakan. Sering sekali penulis menjumpai, dalam acara televisi, koran, maupun realita yang terjadi di masyarakat, seorang pencuri yang hanya mencuri Hp, motor, ataupun barang-barang yang “agak” berharga lainnya hampir mati dipukuli warga. Namun, melihat tingkah orang-orang yang “bertopeng pahlawan”, dengan seenaknya (tanpa merasa berdosa) mengkorupsi uang negara yang seharusnya di gunakan untuk menyejahterakan rakyat. Akibatnya, rakyat dan negara menanggung kerugian yang cukup banyak. 

Cina merupakan negara yang patut untuk bangsa Indonesia tiru dan dijadikan cerminan dalam mengambil sikap untuk memberantas korupsi di Indonesia. Presiden Jiang Zemin melancarkan sebuah perang melawan korupsi pada tahun 1995. Korupsi dinilai semakin mewabah dan dinilai semakin merusak sendi-sendi kehidupan bernegara. para pelaku korupsi di Cina dikenakan hukuman mati.  Pada Maret tahun 2000 misalnya, pejabat senior pemerintahan dijatuhi hukuman mati karena alasan korupsi.

Pemerintah Indonesia tidak boleh takut dengan kecaman-kecaman pelanggaran hak asai manusia ataupun kecaman-kecaman yang mengatakan bahwa hukuman mati merupakan tindakan asusila. Menghukum mati seorang koruptor rasanya bukanlah perbuatan dosa, karena ketika seorang koruptor dibiarkan bebas berkeliaran mengkorupsi uang negara maka rakyatlah yang akan sengsara. Koruptor akan merusak “sistem” dan perkembangan negara, sama halnya dengan benalu yang  merusak perkembangan pohon. Namun, hal itu juga harus dibarengi dengan ketegasan presiden dalam mengambil sikap.

Sadar Lingkungan

Menjaga Keseimbangan Alam, Sebuah Refleksi

Add caption
Selama beberapa tahun terakhir ini, bumi pertiwi Indonesia tidak henti-hentinya dilanda bencana. bencana datang bertubi-tubi memporak-porandakan bumi persada ini. Mulai dari gelombang tsunami yang menyapu bersih sebagian wilayah Aceh, gempa bumi yang mengguncang Yogyakarta, hingga semburan lumpur panas lapindo yang sudah menenggelamkan hampir separuh Sidoarjo. Bahkan ibu kota Jakarta telah menjadi langganan banjir pada tiap tahunnya.

  Tidak sedikit tentunya kerugian yang ditanggung oleh negara. Mulai dari kerugian materi yang jumlahnya mencapai hingga ratusan milyar rupiah, hingga korban jiwa yang tak terhitung lagi jumlahnya.

Oleh karenanya, timbul rasa iba serta kegelisahan yang sangat dalam benak penulis melihat penderitaan yang dialami oleh masyarakat. Tanpa adanya bencana alam pun masyarakat sudah sangat menderita akibat ulah para koruptor yang telah mencuri uang negara, apalagi ditambah dengan datangnya bencana alam yang datang secara bertubi-tubi silih berganti. Tentunya itu akan membuat masyarakat lebih menderita lagi. Berangkat dari hal itu, dalam benak penulis kemudian muncul pertanyaan apakah semua ini merupakan hukuman tuhan yang ditimpakan kepada kita? Kalau memang itu hukuman tetapi kenapa rakyat yang tak berdosa juga ikut menjadi korban bencana?

Pertanyaan di atas pantas rasanya untuk ditujukan bukan  kepada tuhan, akan tetapi kepada diri pribadi kita masing-masing. Dengan merenung dan memahami pertanyaan di atas secara mendalam, penulis berharap tentunya kita semua dapat mengintrospeksi diri. Jikalau tuhan ingin menghukum kita, kenapa tuhan tidak menghukum para koruptor itu? Tentunya tuhan memiliki alasan kenapa tuhan mendatangkan bencana yang datang bertubi-tubi silih berganti kepada kita. Adaikata tuhan tidak punya alasan, maka tak patutlah dia kita sembah.

Setelah kita semua merenung dan mengintrospeksi diri, harapan penulis adalah kita sebagai makhluk dapat memahami bahwasanya bencana seperti banjir, tanah longsor, itu bukan sekedar hukuman yang diberikan tuhan –berbeda dengan bencana gempa bumi, gunung meletus ataupun tsunami, yang kesemuanya itu merupakan gejala atau hukum alam yang memang pasti terjadi–. Akan tetapi, hal itu juga di karenakan kecerobohan dan kelalaian manusia yang telah menghilangkan keseimbangan alam itu sendiri.

Semua itu tidaklah lepas dari hubungan sebab-akibat. Akibat kerakusan dan perbuatannya  sendiri, manusia telah merusak keseimbangan yang ada di alam ini. Pengerukan tambang bumi secara besar-besaran tanpa menjaga dan memperdulikan dampaknya bagi bumi kita ini, penebangan hutan liar secara besar-besaran, pembuangan limbah ke sungai-sungai atau ke laut, membuang sampah-sampah kesungai hingga membuat alirannya tersumbat, tentunya semua itu merusak akan alam dan membuat keseimbangan yang ada menjadi timpang. Akibatnya, banyak bencana yang terjadi, seperti banjir, tanah longsor, dan lain sebagainya.

Di dalam Al-Qur’an Q.S. Ibrahim disebutkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.”  Ayat ini menyeru kepada kita sebagai makhluk yang beragama agar supaya kita selalu bersyukur terhadap nikmat yang telah diberikan-Nya. Namun, kebanyakan manusia kufur terhadap nikmat-Nya sehingga yang timbul dari prilakunya adalah prilaku hewaniah (rakus) dan lupa terhadap sang maha pemberi nikmat. Akibat dari kerakusan manusia dalam mengeksploitasi kekayaan bumi secara tidak proporsional adalah hilangnya keseimbangan alam dan akhirnya terjadilah bencana.

Sebuah contoh yang sedang marak diperbincangkan saat ini adalah bencana pemanasan global atau global warming. Dampak dari bencana ini tidak hanya dirasakan oleh bangsa Indonesia tetapi dirasakan oleh seluruh dunia. Bencana ini tentunya tidaklah semata-mata karena takdir tuhan. Tetapi lebih karena perusakan manusia terhadap alam itu sendiri. Hutan-hutan yang bertugas menyaring polusi guna melindungi lapisan ozon telah dibabat secara besar-besaran oleh manusia, sehingga yang terjadi adalah bencana. 

Berangkat dari hal itu, maka hendaknya bermacam bencana yang telah kita lalui tidak hanya dijadikan sebuah episod kehidupan yang nantinya hanya akan dikenang dalam sejarah. Akan tetapi, kejadian tersebut hendaknya kita jadikan sebagai sebuah pelajaran penting agar kita semua nantinya lebih bisa berhati-hati dalam bertindak untuk menjaga dan menghargai akan keseimbangan alam. Dan kemudian diakhiri dengan harapan agar alam ini kembali pada keseimbangannya.

Manusia haruslah mampu untuk mengambil pelajaran dari semua kejadia (bencana) yang telah menimpanya itu. Sesungguhnya Tuhan tidaklah menciptakan sesuatu itu tanpa tujuan. Setiap kejadian (bencana) yang telah kita hadapi itu merupakan peringatan dari Tuhan agar kita bisa memperbaiki diri, termasuk dalam menjaga keseimbangan alam. Selain itu pelajaran yang dapat kita ambil adalah bahwa manusia yang takabur menganggap dirinya hebat dan berkuasa di bumi ini sebenarnya hanyalah makhluk lemah yang tidak memiliki kekuatan tanpa pertolongan-Nya.


Pentingnya Peran Keluarga

Keluarga dan Ironi Moral Generasi Bangsa

Sungguh menjadi sebuah ironi ketika kita tengok sejenak pada realita yang terjadi di Indonesia. Bagaimana tidak, melihat perkembangan kualitas moral manusia-manusia di Indonesia yang semakin lama terlihat kian merosot dan terdegradasi. Sebut saja sebagai contoh semisal semakin maraknya tindak kejahatan, pelecehan seksual, semakin merebak dan maraknya praktek KKN, serta berbagai macam tindak kriminalitas lainnya. Hal ini tentu berimbas terhadap memudarnya karakter bangsa. Dengan fakta yang sedemikian ini tentu memunculkan pertanyaan dalam benak kita yakni apa gerangan yang terjadi dengan manusia-manusia penerus bangsa ini?

Selain itu, fakta bahwa moral generasi muda yang seakan-akan terjangkiti virus dan penyatkit akut sungguh sangat memprihatinkan dan memiriskan hati. Moral para pemuda terlihat semakin jauh dari nilai dan norma ketimuran. Mereka cenderung lebih suka mengikuti model pergaulan bebas dengan tanpa mengindahkan norma-norma yang berlaku. Narkoba dan prilaku seks bebas sepertinya sudah menjadi hal yang lumrah di kalangan muda-mudi Indonesia saat ini. 

Fakta terbaru yang berkembang belakangan ini adalah ternyata salah satu penyebab utama rusaknya moral putra-putri bangsa justru disebabkan oleh pesatnya perkembangan dan kemajuan teknologi, semisal semakin mudahnya akses penyebaran video-video berbau porno. Mudahnya akses teknologi saat ini yang diharapkan berdampak positif bagi kemajuan pendidikan mereka ternyata malah menjadi bumerang.  

Oleh karenanya, kualitas suber daya manusia di Indonesia yang semakin memprihatinkan ini, terlebih generasi muda indonesia, haruslah benar-benar diperhatikan secara seksama. Karena semangat merekalah nantinya yang akan menjadi roda penggerak bagi bangsa ini, semangat merekalah yang menjadi pemicu sekaligus sumbu utama berkobarnya api semangat Indonesia. Apa jadinya kelak ketika bangsa Indonesia dihuni oleh manusia-manusia yang tak berkarakter dan tak bermoral? Sungguh tidak dapat dibayangkan.

Nah, dalam pembentukannya, karakter dan moral seorang anak tidaklah berkembang menjadi sedemikian rupa dengan sendirinya. Perkembangan karakter pada setiap individu dipengaruhi oleh faktor tertentu, yakni faktor bawaan dan faktor lingkungan. Menurut para developmental psychologist, setiap manusia memiliki potensi bawaan yang akan termanisfestasi setelah dia dilahirkan, termasuk potensi yang terkait dengan karakter atau nilai-nilai kebajikan. Dalam hal ini, Confusius –seorang filsuf terkenal Cina– menyatakan bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi mencintai kebajikan, namun bila potensi ini tidak diikuti dengan pendidikan dan sosialisasi setelah manusia dilahirkan, maka manusia dapat berubah menjadi binatang, bahkan lebih buruk lagi. Oleh karena itu, sosialisasi dan pendidikan anak yang berkaitan dengan nilai-nilai kebajikan sangat penting dalam pembentukan karakter seorang anak.

Yang menjadi pertanyaan mendasar kemudian adalah menjadi tugas siapakah untuk memajukan kualitas moral generasi muda bangsa ini? Apakah ini adalah tugas bagi para guru bangsa, kiai, ataukah pemerintah? Yang jelas jawaban paling bijak adalah sudah barang tentu hal ini menjadi tugas kita segenap warga Indonesia untuk ikut serta berperan aktif dalam meningkatkan kualitas moral generasi muda terlebih peran keluarga (para orang tua) dalam mendidik moral putra-putrinya. Mereka tidak bisa cuci tangan atas kenakalan, kemerosotan, dan kerusakan moral anaknya. Selain diri sang anak sendiri, lingkungan keluarga dan orang tua adalah yang paling ikut bertanggung jawab atas pembentukan karakter dan moral anak.

Peranan Keluaga dalam Pembentukan Moral: Sebuah Solusi
Bagi seorang anak, keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangannya dalam pembentukan kepribadian anak (tentunya dengan pola asuh yang benar pula). Keluarga memiliki peranan yang sangat signifikan dalam mewujudkan kualitas moral para penerus bangsa. Betapa tidak, lignkungan keluarga dan orang tualah yang menjadi teladan sekaligus guru pertama dalam pembentukan moral anak. Pendidikan dan teladan yang diserap dari lingkungan keluarga dan orang tua sangatlah melekat dalam pribadi anak kelak. Mereka memiliki tanggung jawab besar terhadap pembentukan kepribadian sang anak.  

Seperti yang dikatakan dalam sebuah ungkapan: “lebih baik satu kali contoh daripada lima kali nasihat.” Setidaknya dari ungkapan tersebut dapat kita simpulkan bahwa selain menjadi teladan, sikap yang ditunjukkan oleh lingkungan keluarga dan orang tua sangatlah berpengaruh terhadap pembentukan karakter dan kepribadian anak.

Terdapat beberapa hal yang menjadi tanggungan atau kewajiban orang tua dan lingkungan keluarga dalam membentuk karakter dan moral anak. Salah satunya adalah selalu menghimbau sang anak untuk berbuat baik dan menghidarkannya dari perbuatan tercela. Disadari atau tidak, semua perbuatan dan tingkah laku orang tua akan ditiru dan menjadi pelajaran dasar yang sangat mudah diserap oleh anak. 

Seperti yang dikatakan dalam sebuah ungkapan; “pendidikan semenjak kecil laksana mengukir di atas batu.” Teladan dan pendidikan yang diterima semenjak kecil dilingkungan keluarga akan berbekas dalam pribadi anak kelak. Dengan demikian, apabila kita menginginkan terbentuknya kepribadian dan moral yang baik pada anak tentunya pelajaran dan teladan yang baiklah yang harus dicontohkan. Dan oleh karenanya, sungguh tidak bijaksana sebuah keluarga yang mengajarkan kepada anak-anaknya baik secara langsung maupun tidak langsung contoh-contoh perbuatan tercela semisal berbohong dan yang semacamnya.

Dalam Islam sendiri, bahkan juga dalam semua agama, terdapat suatu perintah kepada para orang tua untuk selalu mengarahkan dan memberikan pendidikan yang baik terhadap putra-putrinya. Seperti yang disebutkan dalam sebuah riwayat “Tak ada seorang bapak pun yang dapat memberikan kepada anaknya satu pemberian yang lebih berharga dari pada pendidikan yang baik.” Oleh karenanya, sudah menjadi kewajiban bagi orang tua dan lingkungan keluarga, sebagai guru pertama, untuk menanamkan nilai-nilai luhur dalam pengembangan pribadi putra-putrinya, guna kelak menjadi manusia-manusia yang bermoral dan berbudi pekerti baik. Mungkin, dengan upaya pembenahan dan penanaman nilai-nilai moral terhadap sumber daya manusia sejak dini, menjadi kunci yang daoat mengentaskan krisis moral yang mendera bangsa ini. Semoga.