Good Governance...

Posted by Metamorfosis on Minggu, Mei 27, 2012 in , , , , | No comments

Masyarakat Madani
Dalam Pandangan Umat Muslim Indonesia

Konsep civil society (masyarakat madani) belakangan ini menarik minat banyak kalangan. Berbagai diskusi, seminar, dan talk show diselenggarakan untuk mengupas konsep tersebut. Gejala tersebut menandai bahwa masyarakat kita sedang mencari konsep alternatif untuk mewujudkan good governance, menggantikan bangunan Orde Baru yang telah melahirkan bad governance.

Menjadikan civil society sebagai konsep alternatif tampak pula dari gerakan oposisi kaum reformis terhadap rezim Orde Baru, yang diberi nama gerakan masyarakat madani (padanan Indaonesia untuk kata civil). Nama tersebut merupakan terjemahan populer dari istilah civil society, berbeda dengan makna civil society dalam diskursus ilmu sosial. Konsep civil society kadang juga diartikan sebagai masyarakat sipil. Pengartian tersebut didorong oleh keinginan untuk memberikan hak kepada kalangan sipil (nonmiliter) yang selama ini dikebiri hak-hak politik, sosial, dan ekonomi mereka akibat dari dominasi ABRI melalui penerapan dwifungsinya. Dengan begitu, civil society diartikan sebagai masyarakat dengan otoritas penuh untuk menyelenggarakan tugas eksekutif, legislatif, dan yudikatif tanpa pengaruh dan dominasi militer.

Mengartikan civil society dengan konotasi makna seperti dalam dua contoh tersebut bukan disebabkan kesulitan mengartikan konsep civil society, melainkan karena adanya kepentingan tertentu yang melatarbelakangai mereka yang sedang membahas konsep dimaksud. Kalangan pemikir muslim mengartikan civil society dengan cara memberi atribusi keislaman madani (attributive dari kata al-Madinah). Karena itu, istilah civil society dipadankan dengan masyarakat madani yang pada masyarakat ideal di (kota) Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam masyarakat tersebut, Nabi berhasil memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan, penegakan hukum, jaminan kesejahteraan bagi semua warga serta perlindungan terhadap kelompok minoritas. Dengan begitu, kalangan pemikir muslim menganggap masyarakat (kota) Madinah sebagai prototype masyarakat ideal produk Islam yang bisa dipersandingkan dengan masyarakat ideal dalam konsep civil society. Mereka melakukan ’’pengislaman’’ konsep civil society untuk menunjukkan bahwa ajaran Islam sangat kaya dengan nilai dan etika, yang bila diimplementasikan akan terbentuk tatanan kehidupan yang ideal.

Anwar Ibrahim adalah intelektual muslim pertama yang mengintroduksi istilah masyarakat madani sebagai padanan civil society. Nurcholish Majid kemudian menggunakan istilah serupa. Dan, istilah tersebut sekarang sudah baku berkat tingginya sirkulasi penggunaan istilah tersebut. Seperti halnya pemikir muslim lain, kedua pemikir itu menggunaan projecting back theory dalam ’’mengislamkan’’ konsep civil society. Dalam menerapkan teori tersebut, mereka mengambil contoh dari data historis masa lalu Islam (masyarakat kota Madinah bentukan Nabi) yang secara kualitatif mereka anggap sejajar dengan masyarakat ideal hasil tuangan konsep civil society. Mereka melakukan penyetaraan untuk menunjukan bahwa dalam ajaran Islam terdapat potensi yang bisa dipakai untuk menciptakan sebuah pranata kehidupan sosial, politik, dan ekonomi sejalan dengan visi masyarakat modern.

Ada baiknya dibahas secara ringkas alasan yang mendorong kalangan intelektual muslim menggunakan projecting back theory itu. Dalam menerima paham-paham baru (neologism) yang muncul di era modern ini, intelektual muslim umumnya memiliki reservasi. Reservasi tersebut dilakukan karena mereka berada dalam situasi dilematis. Di satu sisi, konsep seperti civil society dibentuk berdasarkan prinsip moral dan tata nilai dari tradisi Eropa non-Islam.

Di sisi lain, mereka tidak mempunyai kemampuan untuk menolaknya. Sebab, prinsip-prinsip dalam konsep tersebut telah menyatu secara organik dengan pranata kehidupan modern dan menjadi etika hidup masyarakatnya. Sebagai bagian dari masyarakat ekumenikal, intelektual muslim akan selalu memiliki reservasi terhadap paham-paham baru yang datang dari luar. Dalam sistem ekumenikal, masyarakat akan mencari jastifikasi agama sebelum menerima segala produk pemikiran manusia. Karena itu, reservasi tersebut baru bisa cair setelah konsep dimaksud dinyatakan valid karena, dalam proses pengujiannya, tidak bertentangan dengan landasan normatif (nass) dari sumber primer Islam (Alquran dan Hadis) atau dengan praktik generasi awal Islam.

Proses pengujian terhadap konsep baru umumnya dalam bentuk pencarian data sejarah masa lalu Islam, yang analog watak kualitatifnya dengan materi dalam konsep baru tersebut, seperti penganalogan masyarakat Madinah dengan civil society. Bila referensi pada data historis tidak ditemukan, maka dicari landasan tekstual (nass) sebagai alat jastifikasi pengganti. Paham nasionalisme yang sekarang sudah diterima sebagai paradigma politik oleh semua bangsa muslim semula juga mengalami proses pengujian melalui landasan tekstual. Muhammad ’Abduh, Hasan al-Banna’, dan Muhammad Rashid Rida, misalnya, menolak paham nasionalisme. Menurut mereka, Islam hanya mengakui kelompok sosial yang dibangun di atas dasar persamaan agama (Islam) saja sesuai dengan ketentuan normatif dalam prinsip al-ummah al-Islamiyah. Sedangkan paham nasionalisme, dalam pandangan mereka, menekankan prinsip kebersamaan plural, mulai etnis, linguistik, tradisi, cita-cita, hingga nilai-nilai kultural. Sedangkan Mustafa Kamil, Muhammad Iqbal, dan Muhammad Ali Jinnah menganggap bahwa nasionalisme tidak bertentangan dengan doktrin politik Islam. Sebab, di antara keduanya terdapat hubungan signifikan melalui prinsip normatif al-ukhuwwah al-Islamiyah. Nasionalisme, menurut mereka, merupakan instrumen bagi masyarakat muslim untuk mengaktualisasi cita-cita politik mereka sebagai komunitas beragama yang memerlukan negara (state) dan yang kedaulatannya dirampas oleh kekuatan kolonial.

Pada prinsipnya, kalangan muslim sangat reseptif terhadap produk pemikiran baru. Hal ini seperti tampak dari sikap Anwar Ibrahim dalam ’’mengislamkan’’ civil society serta penerima tiga pemikir tersebut pada konsep nasionalisme. Reseptivitas seperti itu disebabkan agama mereka (Islam) memiliki konsep moral universal sehingga proses akulturasi dengan paham-paham lain selalu mudah dilakukan. Untuk mengevaluasi reseptivitas Islam terhadap konsep civil society, perlu dibahas etika dalam ajaran Islam yang paralel dengan norma yang kemudian melandasi diskursus dalam penyelenggaraan konsep civil society. Pembahasan hanya akan menyayikan tema-tema pokok, seperti human rights, pluralism, dan religious tolerance. Tema seperti itu dipilih, mengingat pelanggaran terhadap human rights merupakan kasus laten yang terjadi di banyak negara muslim. Sedangkan pluralism dan religious tolerence merupakan tema aktual yang perlu disimak dalam konteks teoretisnya menurut Islam.

0 komentar:

Posting Komentar