Gerak!

Wisata Pantai Pulau Pane

Baru saja aku disuguhi perdebatan filusuf perihal kenyataan itu konstan ataukah menjadi. Herakleitos mengungkapkan bahwa kenyataan atau bahkan hakikat segala sesuatu adalah menjadi, ‘ada’ yang konstan itu tidak ada. Sementara parmenides berpendapat sebaliknya, ia menentang pendapat herakleitos. Menurutnya kenyataan itu adalah yang tetap, konstan, tidak berubah. Perdebatan antara yang bergerak menjadi dan yang konstan ini bahkan terus memberikan pengaruh pada pemikiran filsafat pada generasi yang jauh sesudahnya.

Hal ini sebenarnya tidak terlalu menyibukkan pikiranku, sebab sebagai orang yang dilahirkan dalam keluarga muslim, setidaknya aku diwajibkan belajar dan meyakini beberapa hal teologis. Yang tetap tidak berubah, tidak berujung, tidak diciptakan, itu wajib adanya; dialah Allah Swt., Tuhan pencipta segala. Sementara dalam ajaran Islam, juga disebutkan bahwa Allah Swt., tidak akan merubah (keadaan) suatu kaum, kecuali mereka merubahnya sendiri –yang tak lain mengisyaratkan tentang gerak.

Danau Toba dalam Satu Sudut


Tak Bermula dan Tak Berakhir

Yang tetap (tak bermula dan tak berakhir) adalah wajib adanya. Ia menjadi prima causa yang memulai segala sesuatu yang ada dan diketahui oleh manusia (sepanjang sejarah manusia). Pun gerak pasti adanya, sebab ia bisa dengan mudah didapati dalam keseharian. Mulai dari degup jantung, sirkulasi darah, aliran sungai, dan lain sebagainya.

Zeno sang murid Parmenides boleh saja berpendapat bahwa sejatinya gerak tidak ada, dan bahkan anak panah yang lepaskan dari busurnya sejatinya adalah diam. Ia hanya menempati ruang, dan pengetahuan manusia yang diperoleh dari indra-lah yang keliru. Namun, Zeno nampaknya lupa bahwa kentut terjadi akibat adanya gerak, gas yang terus memuai di dalam perut sehingga tak mampu lagi dibendung oleh otot anus, lalu terciptalah kentut. Itu gerak!

Sikap Adil Terhadap Lingkungan



Seekor tupai berlari memanjat pohon kelapa. Ia terlihat sangat lincah, bahkan saking lincahnya tak terbersit sedikitpun di kepalaku bahwa ia akan jatuh. Tapi bagaimana pun juga, pepatah bilang, sepandai-pandai tupai melompat pasti ia akan jatuh juga. Entah benar atau tidak. Aku sendiri merasa skeptis akan pepatah itu, sebab tak pernah ku lihat barang satu kalipun seekor tupai terpeleset dan jatuh.

Pepatah itu memang bukan ditujukan sebagai fakta yang benar ada –meskipun (mungkin) memang pernah ada. Pepatah itu merupakan metafora yang sarat makna agar kita (pendengar) dapat mengambil pelajaran darinya, bahwa sepandai apapun kita (manusia) pasti akan melakukan kesalahan. Oleh sebab itu, pelajaran yang dapat dipetik adalah kehati-hatian agar meminimalisir kesalahan yang akan terjadi.

Meskipun tergolong sama-sama binatang, manusia berbeda dari tupai, sebab manusia memiliki akal dan pikiran sementara tupai sekedar mengandalkan nalurinya. Manusia adalah makhluk yang dianugerahi limpahan karunia oleh Tuhan. Kitab suci agama al-Qur’an saja menyebutkan bahwa Allah Swt menundukkan semua yang ada di langit dan di bumi untuk manusia. Pernyataan ihwal penundukan alam oleh-Nya bagi manusia ini pun disebut dalam kitab suci agama-agama samawi lainnya.

Sayangnya, dalam perkembangannya manusia seringkali terlalu angkuh karena keberlimpahan anugerah tersebut. Manusia tak jarang merasa lebih spesial dibanding makhluk-makhluk lain, sehingga tak jarang bersikap sewenang-wenang terhadap makhluk lainnya. Ironisnya, manusia sama sekali tak memperhatikan kesinambungan ekosistem hidup yang saling kait-mengait dan saling membutuhkan satu sama lain.

Manusia dan Lingkungan


Salah satu buku berjudul The World Without Us, ‘berupaya’ mengkritisi sikap angkuh manusia. Buku itu mengajak pembaca untuk sekedar merenungkan sekali laki ragam luka yang telah kita, umat manusia, torehkan di bumi. Hutan tanpa ampun digunduli untuk kepentingan ekonomi, sehingga mengakibatkan binatang-binatang kehilangan habitatnya. Bahkan, harus diakui bahwa punahnya sebagian jenis makhluk diakibatkan oleh perilaku bejat manusia terhadap alam sekitarnya, termasuk juga terjadinya global warming atau pemanasan global.

White Lynn Jr., salah seorang pakar yang concern terhadap lingkungan mengkritisi bahwa rusaknya bumi adalah disebabkan oleh cara pandang teknologi modern (terhadap alam) yang disebabkan oleh cara pandang agama-agama Abrahamik (Tuhan menundukkan alam bagi manusia). Tidak sedikit yang mengkritik pandangan Lynn tersebut, pun sebaliknya ada juga yang pro terhadapnya.

Terlepas dari itu, tak perlu-lah kiranya membenturkan sains dan agama, sebab keduanya tak ada satu pun yang menginginkan kerusakan. Lebih-lebih agama, baik rumpun agama abrahamik ataupun agama lainnya, senantiasa memandang elok terhadap dunia. Tak ada satupun ajaran yang membenarkan eksploitasi hutan. Tak ada satupun ajaran agama yang membenarkan perilaku membuang sampah sembarangan. Ajaran agama justru melimpahkan tanggung jawab kepada manusia agar senantiasa berlaku adil dan menjaga kelestarian lingkungannya.