Posted by Metamorfosis on Jumat, Juli 10, 2020 in bencana, kelestarian alam, kelestarian lingkungan, keseimbangan alam, lestari, lingkungan, pelestarian lingkungan, pemanasan global, pendidikan karakter, sadar lingkungan, semesta indah | No comments
Seekor
tupai berlari memanjat pohon kelapa. Ia terlihat sangat lincah, bahkan saking
lincahnya tak terbersit sedikitpun di kepalaku bahwa ia akan jatuh. Tapi
bagaimana pun juga, pepatah bilang, sepandai-pandai tupai melompat pasti ia
akan jatuh juga. Entah benar atau tidak. Aku sendiri merasa skeptis akan
pepatah itu, sebab tak pernah ku lihat barang satu kalipun seekor tupai
terpeleset dan jatuh.
Pepatah
itu memang bukan ditujukan sebagai fakta yang benar ada –meskipun (mungkin) memang
pernah ada. Pepatah itu merupakan metafora yang sarat makna agar kita
(pendengar) dapat mengambil pelajaran darinya, bahwa sepandai apapun kita
(manusia) pasti akan melakukan kesalahan. Oleh sebab itu, pelajaran yang dapat
dipetik adalah kehati-hatian agar meminimalisir kesalahan yang akan terjadi.
Meskipun
tergolong sama-sama binatang, manusia berbeda dari tupai, sebab manusia
memiliki akal dan pikiran sementara tupai sekedar mengandalkan nalurinya.
Manusia adalah makhluk yang dianugerahi limpahan karunia oleh Tuhan. Kitab suci
agama al-Qur’an saja menyebutkan bahwa Allah Swt menundukkan semua yang ada di
langit dan di bumi untuk manusia. Pernyataan ihwal penundukan alam oleh-Nya
bagi manusia ini pun disebut dalam kitab suci agama-agama samawi lainnya.
Sayangnya, dalam perkembangannya manusia seringkali terlalu angkuh karena keberlimpahan anugerah tersebut.
Manusia tak jarang merasa lebih spesial dibanding makhluk-makhluk lain,
sehingga tak jarang bersikap sewenang-wenang terhadap makhluk lainnya.
Ironisnya, manusia sama sekali tak memperhatikan kesinambungan ekosistem hidup
yang saling kait-mengait dan saling membutuhkan satu sama lain.
Manusia
dan Lingkungan
Salah
satu buku berjudul The World Without Us, ‘berupaya’ mengkritisi sikap
angkuh manusia. Buku itu mengajak pembaca untuk sekedar merenungkan sekali laki
ragam luka yang telah kita, umat manusia, torehkan di bumi. Hutan tanpa ampun
digunduli untuk kepentingan ekonomi, sehingga mengakibatkan binatang-binatang
kehilangan habitatnya. Bahkan, harus diakui bahwa punahnya sebagian jenis
makhluk diakibatkan oleh perilaku bejat manusia terhadap alam sekitarnya, termasuk juga terjadinya global warming atau pemanasan global.
White
Lynn Jr., salah seorang pakar yang concern terhadap lingkungan mengkritisi bahwa rusaknya bumi adalah disebabkan oleh cara pandang teknologi
modern (terhadap alam) yang disebabkan oleh cara pandang agama-agama Abrahamik
(Tuhan menundukkan alam bagi manusia). Tidak sedikit yang mengkritik pandangan
Lynn tersebut, pun sebaliknya ada juga yang pro terhadapnya.
Terlepas
dari itu, tak perlu-lah kiranya membenturkan sains dan agama, sebab keduanya
tak ada satu pun yang menginginkan kerusakan. Lebih-lebih agama, baik rumpun
agama abrahamik ataupun agama lainnya, senantiasa memandang elok terhadap
dunia. Tak ada satupun ajaran yang membenarkan eksploitasi hutan. Tak ada
satupun ajaran agama yang membenarkan perilaku membuang sampah sembarangan.
Ajaran agama justru melimpahkan tanggung jawab kepada manusia agar senantiasa
berlaku adil dan menjaga kelestarian lingkungannya.
0 komentar:
Posting Komentar