Posted by Metamorfosis on Minggu, Februari 03, 2019 in global warming, konservasi hutan, menjaga keseimbangan alam, pemanasan global, resensi buku | No comments
Judul Buku: Sekolah
di Atas Bukit
Editor: Andi F. Yahya dkk.
Penerbit: Gramedia, Jakarta
Cetakan: I, 2015
Tebal: 260 Halaman
ISBN: 978-602-03-1593-5
Dalam kurun waktu tiga dekade terakhir,
Indonesia menorehkan catatan merah terkait pengelolaan hutan di mana hutan alam
Indonesia mengalami kerusakan dan penurunan luas secara signifikan. Data
kementrian kehutanan mencatat, laju deforestasi di Indonesia yang pada 1996
mencapai 1,97 hektar per tahun meningkat tajam pada kurun 1997-2000 menjadi 3,8
juta hektar per tahun. Ironis tentunya mengingat Indonesia adalah salah satu
negara yang ditahbiskan sebagai paru-paru dunia.
Kenyataan ini justru semakin diperparah dengan
terjadinya kebakaran hutan pada 2014 dan 2015 lalu yang telah mengakibatkan
rusaknya ratusan ribu hektar hutan di Sumatera dan Kalimantan. Padahal, hutan
memiliki peran signifkan dalam meredam emisi gas rumah kaca yang menjadi
penyebab utama terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim secara ekstrem
di dunia.
Di Indonesia, penyebab terjadinya kerusakan
hutan lebih sering diakibatkan oleh ulah manusia daripada faktor alam. Penyalahgunaan
hak pengusahaan hutan (HPH) misalnya, yang berujung pada pembalakan hutan secara
liar serta peralihan fungsi hutan untuk lahan perkebunan maupun pertambangan,
mengakibatkan hilangnya sebagian besar lahan hutan di Indonesia.
Kumpulan tulisan dalam buku ini merupakan
kisah para pegiat konservasi yang tergabung dalam The Nature Concervancy (TNC),
suatu lembaga non-profit yang memiliki concern di bidang pelestarian
lingkungan. Melalui buku ini, para “penjaga hutan” tersebut berbagi kisah perjuangan
dan upaya mereka dalam menjaga
keseimbangan ekosistem serta kelestarian hutan di Indonesia, dalam hal ini
adalah hutan Berau, Kalimantan.
Sebagaimana cerita dari Siswadi misalnya,
satu dari aktivis TNC yang berupaya mengusung semangat konservasi ke dalam
lingkungan masyarakat Long Duhung dengan cara memberikan pendampingan perihal
pengelolaan hutan (hlm. 82). Melalui program pendampingan tersebut, masyarakat
diarahkan untuk menanam karet, buah-buahan, dan tanaman hutan lainnya di
lahan-lahan kritis, sehingga pada saat yang bersamaan juga bermanfaat dalam
membantu mingkatkan perekonomian mereka.
Sebagai buah dari upaya tersebut,
masyarakat Long Duhung bersepakat untuk turut berpartisipasi dalam Program
Karbon Hutan Berau (PKBH) yang memiliki misi untuk menurunkan jumlah emisi gas
karbon, serta berkomitmen untuk menjaga hutan yang tersisa, mempertahankan dan
memperbaiki kondisi hutan.
Selain
kisah bertema pemberdayaan masyarakat lokal dalam pelestarian lingkungan, ada juga cerita dari Delon
Marthinus dan Umbar Sujoko (aktivis TNC lainnya) yang berupaya memperkenalkan
konsep Reduce Impact Logging-Carbon (RIL-C), kepada perusahaan pemilik HPH.
Konsep yang dikembangkan oleh TNC ini, merupakan suatu teknik pembalakan “ramah
lingkungan” yang disinyalir dapat mengurangi resiko kerusakan lingkungan akibat
pembalakan.
Mereka berupaya untuk membuktikan kepada
perusahaan pemilik HPH bahwa penerapan konsep RIL-C tidak hanya “ramah
lingkungan” tetapi juga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi perusahaan
(hlm. 175). Dengan penerapan konsep ini, perusahaan selanjutnya diharapkan
dapat mengubah paradigma bisnis untuk lebih perduli pada lingkungan, dan bukan
hanya berorientasi pada produk.
Dalam konteks Indonesia yang “darurat hutan”
seperti sekarang, kehadiran buku ini merupakan berita gembira mengingat masih
rendahnya tingkat kesadaran masyarakat akan perlunya menjaga kelestarian lingkungan.
Di dalam buku ini, data-data statistik dikemas seperti halnya buku cerita
sehingga menjadikannya sebagai pilihan tepat untuk memperkenalkan semangat
konservasi kepada khalayak, khususnya generasi muda.
Menjaga kelangsungan hutan tidak hanya
penting bagi kita, tetapi bagi kelangsungan seluruh makhluk hidup di muka bumi.
Rusaknya hutan tidak hanya dapat berdampak buruk pada perubahan iklim, tetapi
juga dapat memusnahkan rumah bagi berbagai spesies flora dan fauna. Tanpa hutan,
makhluk hidup tidak memiliki sumber oksigen, sumber air, bahkan makanan. Bumi
tanpa hutan adalah bumi tanpa kehidupan (hlm. 168).
Tulisan ini pernah dipublikasi di harian online Portal Satu, dan juga dipublikasi di blog lain milik penulis
0 komentar:
Posting Komentar