Masyarakat Madani
Dalam
Pandangan Umat Muslim Indonesia
Konsep civil society (masyarakat madani) belakangan
ini menarik minat banyak kalangan. Berbagai diskusi, seminar, dan talk show
diselenggarakan untuk mengupas konsep tersebut. Gejala tersebut menandai bahwa
masyarakat kita sedang mencari konsep alternatif untuk mewujudkan good governance,
menggantikan bangunan Orde Baru yang telah melahirkan bad governance.
Menjadikan civil society sebagai konsep alternatif
tampak pula dari gerakan oposisi kaum reformis terhadap rezim Orde Baru, yang
diberi nama gerakan masyarakat madani (padanan Indaonesia untuk kata civil).
Nama tersebut merupakan terjemahan populer dari istilah civil society, berbeda
dengan makna civil society dalam diskursus ilmu sosial. Konsep civil society
kadang juga diartikan sebagai masyarakat sipil. Pengartian tersebut didorong
oleh keinginan untuk memberikan hak kepada kalangan sipil (nonmiliter) yang
selama ini dikebiri hak-hak politik, sosial, dan ekonomi mereka akibat dari
dominasi ABRI melalui penerapan dwifungsinya. Dengan begitu, civil society
diartikan sebagai masyarakat dengan otoritas penuh untuk menyelenggarakan tugas
eksekutif, legislatif, dan yudikatif tanpa pengaruh dan dominasi militer.
Mengartikan civil society dengan konotasi makna
seperti dalam dua contoh tersebut bukan disebabkan kesulitan mengartikan konsep
civil society, melainkan karena adanya kepentingan tertentu yang
melatarbelakangai mereka yang sedang membahas konsep dimaksud. Kalangan pemikir
muslim mengartikan civil society dengan cara memberi atribusi keislaman madani
(attributive dari kata al-Madinah).
Karena itu, istilah civil society dipadankan dengan masyarakat madani yang pada
masyarakat ideal di (kota) Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam
masyarakat tersebut, Nabi berhasil memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip
kesetaraan, penegakan hukum, jaminan kesejahteraan bagi semua warga serta
perlindungan terhadap kelompok minoritas. Dengan begitu, kalangan pemikir
muslim menganggap masyarakat (kota) Madinah sebagai prototype masyarakat ideal
produk Islam yang bisa dipersandingkan dengan masyarakat ideal dalam konsep
civil society. Mereka melakukan ’’pengislaman’’ konsep civil society untuk
menunjukkan bahwa ajaran Islam sangat kaya dengan nilai dan etika, yang bila
diimplementasikan akan terbentuk tatanan kehidupan yang ideal.
Anwar Ibrahim adalah intelektual muslim pertama yang
mengintroduksi istilah masyarakat madani sebagai padanan civil society.
Nurcholish Majid kemudian menggunakan istilah serupa. Dan, istilah tersebut
sekarang sudah baku berkat tingginya sirkulasi penggunaan istilah tersebut.
Seperti halnya pemikir muslim lain, kedua pemikir itu menggunaan projecting back theory dalam
’’mengislamkan’’ konsep civil society. Dalam menerapkan teori tersebut, mereka
mengambil contoh dari data historis masa lalu Islam (masyarakat kota Madinah
bentukan Nabi) yang secara kualitatif mereka anggap sejajar dengan masyarakat
ideal hasil tuangan konsep civil society. Mereka melakukan penyetaraan untuk
menunjukan bahwa dalam ajaran Islam terdapat potensi yang bisa dipakai untuk
menciptakan sebuah pranata kehidupan sosial, politik, dan ekonomi sejalan
dengan visi masyarakat modern.
Ada baiknya dibahas secara ringkas alasan yang
mendorong kalangan intelektual muslim menggunakan projecting back theory itu.
Dalam menerima paham-paham baru (neologism) yang muncul di era modern ini,
intelektual muslim umumnya memiliki reservasi. Reservasi tersebut dilakukan
karena mereka berada dalam situasi dilematis. Di satu sisi, konsep seperti
civil society dibentuk berdasarkan prinsip moral dan tata nilai dari tradisi
Eropa non-Islam.
Di sisi lain, mereka tidak mempunyai kemampuan untuk
menolaknya. Sebab, prinsip-prinsip dalam konsep tersebut telah menyatu secara
organik dengan pranata kehidupan modern dan menjadi etika hidup masyarakatnya.
Sebagai bagian dari masyarakat ekumenikal, intelektual muslim akan selalu
memiliki reservasi terhadap paham-paham baru yang datang dari luar. Dalam
sistem ekumenikal, masyarakat akan mencari jastifikasi agama sebelum menerima
segala produk pemikiran manusia. Karena itu, reservasi tersebut baru bisa cair
setelah konsep dimaksud dinyatakan valid karena, dalam proses pengujiannya,
tidak bertentangan dengan landasan normatif (nass) dari sumber primer Islam
(Alquran dan Hadis) atau dengan praktik generasi awal Islam.
Proses pengujian terhadap konsep baru umumnya dalam
bentuk pencarian data sejarah masa lalu Islam, yang analog watak kualitatifnya
dengan materi dalam konsep baru tersebut, seperti penganalogan masyarakat
Madinah dengan civil society. Bila referensi pada data historis tidak
ditemukan, maka dicari landasan tekstual (nass) sebagai alat jastifikasi
pengganti. Paham nasionalisme yang sekarang sudah diterima sebagai paradigma
politik oleh semua bangsa muslim semula juga mengalami proses pengujian melalui
landasan tekstual. Muhammad ’Abduh, Hasan al-Banna’, dan Muhammad Rashid Rida,
misalnya, menolak paham nasionalisme. Menurut mereka, Islam hanya mengakui
kelompok sosial yang dibangun di atas dasar persamaan agama (Islam) saja sesuai
dengan ketentuan normatif dalam prinsip al-ummah
al-Islamiyah. Sedangkan paham nasionalisme, dalam pandangan mereka,
menekankan prinsip kebersamaan plural, mulai etnis, linguistik, tradisi,
cita-cita, hingga nilai-nilai kultural. Sedangkan Mustafa Kamil, Muhammad
Iqbal, dan Muhammad Ali Jinnah menganggap bahwa nasionalisme tidak bertentangan
dengan doktrin politik Islam. Sebab, di antara keduanya terdapat hubungan
signifikan melalui prinsip normatif al-ukhuwwah
al-Islamiyah. Nasionalisme, menurut mereka, merupakan instrumen bagi
masyarakat muslim untuk mengaktualisasi cita-cita politik mereka sebagai
komunitas beragama yang memerlukan negara (state) dan yang kedaulatannya
dirampas oleh kekuatan kolonial.
Pada prinsipnya, kalangan muslim sangat reseptif
terhadap produk pemikiran baru. Hal ini seperti tampak dari sikap Anwar Ibrahim
dalam ’’mengislamkan’’ civil society serta penerima tiga pemikir tersebut pada
konsep nasionalisme. Reseptivitas seperti itu disebabkan agama mereka (Islam)
memiliki konsep moral universal sehingga proses akulturasi dengan paham-paham
lain selalu mudah dilakukan. Untuk mengevaluasi reseptivitas Islam terhadap
konsep civil society, perlu dibahas etika dalam ajaran Islam yang paralel
dengan norma yang kemudian melandasi diskursus dalam penyelenggaraan konsep
civil society. Pembahasan hanya akan menyayikan tema-tema pokok, seperti human
rights, pluralism, dan religious tolerance. Tema seperti itu dipilih, mengingat
pelanggaran terhadap human rights merupakan kasus laten yang terjadi di banyak
negara muslim. Sedangkan pluralism
dan religious tolerence merupakan tema aktual yang perlu disimak dalam konteks
teoretisnya menurut Islam.