Baru saja aku disuguhi perdebatan filusuf perihal kenyataan itu konstan ataukah menjadi. Herakleitos mengungkapkan bahwa kenyataan atau bahkan hakikat segala sesuatu adalah menjadi, ‘ada’ yang konstan itu tidak ada. Sementara parmenides berpendapat sebaliknya, ia menentang pendapat herakleitos. Menurutnya kenyataan itu adalah yang tetap, konstan, tidak berubah. Perdebatan antara yang bergerak menjadi dan yang konstan ini bahkan terus memberikan pengaruh pada pemikiran filsafat pada generasi yang jauh sesudahnya.
Hal ini sebenarnya tidak terlalu
menyibukkan pikiranku, sebab sebagai orang yang dilahirkan dalam keluarga
muslim, setidaknya aku diwajibkan belajar dan meyakini beberapa hal teologis.
Yang tetap tidak berubah, tidak berujung, tidak diciptakan, itu wajib adanya;
dialah Allah Swt., Tuhan pencipta segala. Sementara dalam ajaran Islam, juga
disebutkan bahwa Allah Swt., tidak akan merubah (keadaan) suatu kaum, kecuali
mereka merubahnya sendiri –yang tak lain mengisyaratkan tentang gerak.
Tak Bermula dan Tak Berakhir
Yang tetap (tak bermula dan tak berakhir) adalah wajib adanya. Ia menjadi prima causa yang memulai
segala sesuatu yang ada dan diketahui oleh manusia (sepanjang sejarah manusia).
Pun gerak pasti adanya, sebab ia bisa dengan mudah didapati dalam keseharian.
Mulai dari degup jantung, sirkulasi darah, aliran sungai, dan lain sebagainya.
Zeno sang murid Parmenides boleh
saja berpendapat bahwa sejatinya gerak tidak ada, dan bahkan anak panah yang
lepaskan dari busurnya sejatinya adalah diam. Ia hanya menempati ruang, dan pengetahuan manusia yang diperoleh dari indra-lah yang keliru. Namun, Zeno nampaknya lupa
bahwa kentut terjadi akibat adanya gerak, gas yang terus memuai di dalam perut
sehingga tak mampu lagi dibendung oleh otot anus, lalu terciptalah kentut. Itu
gerak!